Beberapa tahun lalu, kritikus Salim Said dan beberapa sahabat film dan budaya berkumpul, meminta sesuatu kepada penulis. Menurut mereka, suatu saat penulis harus menyempatkan diri menulis memoar tentang era film Indonesia Pasca Reformasi selepas penulis menulis buku sejarah film Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015) bersama Dyna Herlina. Memoar adalah semacam kenang-kenangan yang menyerupai autobiografi dengan menekankan pendapat, kesan dan tanggapan penulis atas peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Salim Sait mengatakan bahwa memoar adalah hal sederhana yang diperlukan. Bekal penulis berupa pengalaman masa kecil di era film Indonesia 70-an, masa reamaja di era emas film Indonesia tahun 80-an, pengalaman membuat film era transisi Orde Baru ke Reformasi dan masa emas film Indonesia Pasca-Reformasi diiringi pergaulan dengan generasi film dalam berbagai bentuknya. Masih menurut Salim Said, memoar bisa menjadi cara pandang unik, berbasis pengalaman tiga dekade ditambah pengalaman menulis terkait film, komunikasi, dan politik serta mengajar era Pasca-Reformasi. Terlebih pengalaman berbagai institusi pendidikan, politik hingga menumbuhkan festival serta menghadapi sensor orde baru hingga sensor dari kelompok radikal era pasca reformasi yang disertai ancaman mati. Awalnya penulis ragu untuk menulis sesuatu yang bersifat personal. Namun, tiap-tiap pertemuan serta amatan terhadap karya-karya penting para sahabat sutradara, ditambah langkanya buku perihal film era Pasca-Reformasi mendorong penulis memutuskan untuk menulis. Pada akhirnya, buku ini menjadi semacam ensiklopedia ringan dan sederhana perihal perkembangan genre film hingga deretan sutradara Pasca-Reformasi beserta karya masing-masing.//yn