Makian-makian seperti: Presiden Goblok, Presiden Tolol, Presiden Planga-plongo, Kaum Kampret, Kaum Kecebong, dan lain sejenisnya tidak dijumpai pada zaman Orde Baru. Kalaupun ada, orang tidak akan berani mengucapkannya di depan publik. Akan tetapi sekarang makian yang sejenis itu secara masif bertebaran di media daring. Ini sangat memprehatinkan karena fakta itu merupakan petunjuk kemunduran budaya. masyarakat yang sudah melupakan etika berbahasa dapat diartikan sebagai masyarakat tuna budaya atau masyarakat yang sudah kehilangan jati dirinya. Padahal, secara konstitusi, negara telah membuat Undang-Undang untuk mencegah kekerasan bahasa ini yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Akan tetapi, UU tersebut sepertinya tidak memberi pengaruh yang signifikan. Faktanya, kekerasan bahasa semakin tampak berkembang dengan subur. Pertikaian dan kekerasan bahasa di dunia maya akan menular di dunia nyata. Ini sudah terbukti dengan kasus-kasus persekusi yang memang diawali saling serang antar netizen di media daring. Buku ini mendeskripsikan hasil penelitian bahwa memang terjadi kekerasan bahasa secara dominan di media daring nasional. kekerasan bahasa ini diukur dari dilanggarnya Prinsip Kesantunan yang terdiri atas enam maksim. Kekerasan bahasa terjadi pada topik-topik yang berkaitan dengan isu-isu politik.//yn