Buku ini mencoba menampilkan sosok kepenyairan Wiji Thukul secara lengkap. Untuk itu, hampir semua sajak Wiji Thukul tampil dalam kumpulan ini, termasuk sajak-sajak yang ditulisnya selama masa "pelarian", hingga tak lagi deketahui keberadaannya. Buku ini memuat 5 sub bagian kumpulan. Pembagian ini tidak didasarkan pada kriteria-kriteria yang rumit dan formal, melainkan lebih pada tujuan mempermudah penikmatan atas sajak-per-sajak, tema-pertema, gaya-per-gaya, yang semuanya tidak diklasifikasikan secara kaku. Sub kumpulan terakhir "Baju Loak Sobek Pundaknya" dalam buku ini agak diperlakukan secara khusus, karena kumpulan ini adalah bagian sajak-sajak yang ditulis Wiji Thukul ketika ia berada di masa pelarian (setelah 1 Agustus 1996) dengan menggunakan nama samaran Budi Bang Branang. Dalam kumpulan ini juga digabungkan 3 sajak lagi yang ditemukan Erkelens di majalah Pembebasan berjudul "Tujuan Kita Satu Ibu", "Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa", dan di majalah Bergerak "Tanpa Judul". Dalam edisi cetak ulang ini, ditambahkan 5 puisi Thukul yang pada edisi sebelumnya tidak disertakan, yaitu: "Teka-teki yang Ganjil", "Mendongkel Orang-orang Pintar", "Aku Menuntut Perubahan", "Satu Mimpi Satu Barisan", "Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu". Edisi ini juga menyertakan puisi putri Thukul, Fitri Nganti Wani, yang berjudul "Pulanglah Pak" (dalam "Setengah Lingkaran Wiji Thukul"). Wiji Thukul telah membangunkan kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia. Dia membangunkan kita untuk membaca puisi. Dia membangunkan kesadaran seniman untuk berbuat sesuatu. Dia membangunkan keluarga korban untuk tidak menyerah, meski akhirnya ia menjadi korban dari aktivitas yang ia lakukan. Penerbit berharap buku ini akan memberikan sumbangan yang berguna bagi khazanah sastra Indonesia, dan memberikan sumbangan bagi berbagai pihak yang akan selalu merindukan Wiji Thukul yang telah banyak memberikan cermin atas kecintaan pada hidup.//Ira