Buku

Jurnal Dialog Kebijakan Publik Edisi 3 September 2011 tentang Birokrasi Dalam Era Keterbukaan Informasi Publik

Abstraksi

Jurnal Dialog Publik edisi kali ini mengangkat tema Birokrasi dalam era keterbukaan informasi, sekaligus sebagi melihat bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keluarnya undang-undang ini juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap upaya perwujudan reformasi birokrasi. Berbagai isu dan permasalahan di seputar reformasi birokrasi akan dibedah dan dianalisis secara komprehensif dari berbagai perspektif. Muhammad Labolo secara detai menganalisis kinerja birokrasi dalam konteks good governance. Ia berusaha mendiskripsikan tentang makna birokrasi dan good governance, karakteristik pemerintahan yang baik, dalam upaya reformasi birokrasi, serta upaya strategis reformasi birokrasi dan implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Perubahan tersebut diharapkan tidak saja bersifat incremental semata, namun fundamental. Menurut beliau, salah satu usulan menariknya adalah bahwa untuk mengefektifkan reformasi birokrasi diperlukan reformasi kapasitasi yang memadaio guna meningkatkan kemampuan aparatur dalam menangani masyarakat. Reformasi kapasitasi adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya birokrasi dalam pelayanan agar mampu mengimbangi dinamika masyarakat. Reformasi kapasitasi ini berkaitan dengan kemampuan birokrasi baik secara individualmaupun kelompok yang ditunjuk pada kemampuan menterjemahkan visi dan misi, program dan kegiatan. Pengembangan kapasitas aparatur berfokus pada aspek pendidikan dan pengalaman yang akan menentukan nilai profesionalisme birokrasi. dihadapan masyarakat. sementara itu, Habel Suwae mencoba menyoroti pelayanan birokrasi dalam era Otonomi khusus di Provinsi Papua. Beliau melihat adanya gejala etnosentrisme di Papua apakah berpengaruh terhadap pelayanan birokrasi, sehingga lebih mengarah pada birokrasi primordial. atau birokrasi bersifat adaptif dengan dinamika masyarakat papua yang semakin terbuka, sehingga lebih mengedepankan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Atau dengan kata lain Habel mengajukan pertanyaan bagaimana pelayanan birokrasi pemerintah Papua dalam era Otonomi Khusus sekarang ini. Apakah bias primordialisme sepeti baik buruknya pelayanan birokrasi disebabkan oleh faktor kesamaan etnis, agama dan kekerabatan, atau berkembang menjadi birokrasi modern yang mengutamakan profesionalisme dan merit sistem. Menurut Habel, birokrasi di Papua justru lebih menunjukkan karakter sebagai birokrasi yang rasional dan mengedepankan profesionalisme. Perkembangan masyarakat Papua yang semakin terbuka menjadikan Papua semakin plural, sehingga birokrasi pemerintah terbukti adaptif dengan perkembangan masyarakatnya. Memang pada awalnya terdapat kecenderungan bahwa pemberian kewenangan pengelolaan politik oleh pemerintah pusat dalam bentuk Otsus, disikapi primordialistik. Birokrasipun kemudian menunjukkan karakter birokrasi primordial, sehingga personil, sistem rekruitmen, dan pelayanan pun ada kecenderungan bias etnosentrisme. Akan tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, birokrasi pemerintah Papua berkembang ke arah yang lebih menunjukkan karakter birokrasi profesional dengan menerapkan merit sistem. Karakter masyarakat Papua sendiri yang terbuka dan semakin plural, menjadi pertimbangan utama mengedepankan birokrasi rasional, yang lebih mengutamakan efisiensi dan profesionalisme. bersamaan dengan itu, birokrasi pemerintah juga terus mendorong partisipasi publik dalam proses pembangunan manuju pemerintahan yang transparan dan akundibel. Penulis berikutnya adalah Ferdinan Kerebungu yang mengkaji tentang efektivitas pelayanan birokrasi di era otonomi daerah. Realitas yang teralami sekarang banyak birokrat yang tidak mengutamakan pelayanan publik, karena banyak pejabat publik yang diangkat tidak memiliki kapasitas, kapabilitas dan hal ini disebabkan oleh karena penempatan pejabat eselon II dan II bukan berdasarkan pendidikan dan pelatihan penjenjangan karier, tetapi lebih ditentukan oleh tim sukses. Untuk dapat mengoptimalkan pelayanan birokrasi yang menggunakan prinsip good governance, harus ada transformasi kultural di kalangan aparat birokrasi dari cara pandang birokrasi sebagai penguasa menjadi birokrasi sebagai pelayanan sesuai dengan sistem politik yang demokratis.Sedangkan Nursodik menilai birokrasi Indonesia belum probisnis. Sifatnya yang birokratis dan patologis membuat keberadaan birokrasi lebih dianggap sebagai faktor penghambat dibanding pendorong perekonomian. bebrabagi penyakit birokrasi muncul karena aparat birokrasi cenderung menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan birokrasi itu sendiri, bukan sebagai unit pelayanan masyarakat. Politisasi birokrasi ikut mendorong terjadinya penyelewengan yang membuat birokrasi semakin jauh dari fungsi utamanya sebagai penggerak sektor perekonomian. Untuk menghilangkan berbagai patologi yang ada, birokrasi perlu direformasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep reinventing bureaucracy. Dengan konsep tersebut, maka birokrasi dikembangkan sebagai unit pelayanan yang tepat, cepat, efisien, efektif, akuntabel dan berorientasi. Reinventing bureaucracy diharapkan mampu mengembalikan birokrasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. //Yeni

Seri
Jurnal Dialog Kebijakan Publik
Catatan

Sumbangan dari Kemkominfo Tahun 2011 = 2 eks.

KATA KUNCI: JURNAL, JURNAL DIALOG KEBIJAKAN PUBLIK, BIROKRASI, KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

ISBN
No Barcode Register Lokasi Status
1 0000008871 11-7400-1 R Ada
2 0000008872 11-7400-2 R Ada
No Pengarang Jabatan
1 Tifatul Sembiring Pengarang
No Subyek
1 JURNAL KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK - BIROKRASI
No Kata Kunci
-- data tidak ditemukan --
AsalIndonesia
BahasaIndonesia
JenisReferensi
PenerbitKementerian Komunikasi Informatika RI
Kota TerbitJakarta
Tahun2011
Call Number050.350 3 SEM j
Kolasixiv 80 hlm; 16,5x24,5 cm; ilust.
Edisi3/September/2011
BibliografiAda
Halaman42
IndeksTidak Ada
RelesaseYa
Jumlah Eks2
Kembali