“Pertahankan Jawa,
berapa pun harganya!” Itu perintah Kaisar Napoleon I kepada Menteri Kelautan
dan Wilayah jajahan Perancis Admiral Decres, Oktober 1810. Pada awal abad ke-19
itu, di Samudra Hindia, Perancis hanya punya kekuasaan di Mauritius, Bourbon,
dan Jawa. Bahkan pada masa antara 1808 dan 1811, tinggal Pulau Jawa daerah
koloni Perancis yang tersisa di Asia. Kewtika menjadi Gubernur Jebnderal di
Jawa, Daendles berulang kali minta Napoleon mengirim pasukan bantuan untuk
mempertahankan pulau itu darin serbuan Inggris. Namun, yang dikirim akhirnya
adalah Janssens, Jenderal penjilat yang lebih paham ilmu logistik ketimbang
ilmu perang. Ia memimpin armada compang-camping berisi pasukan pemabuk yang
sama sekali tak punya disiplin. Merekalah yang ditugasi memperkuat pertahanan
Perancis di Jawa. Pada Agustus 1811, armada Inggris tiba dengan 100 kapal
perang yang memadati Teluk Jakarta. Pertempuran pecah di Batavia, Meester
Cornelis (Jatinegara), dan terakhir, di Jatingaleh, Semarang. Dipimpin Jenderal
Auchmuty, pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan India, dengan
mudah membuat kocar-kacir bala tentara Perancis-gabungan antara serdadu
Perancis, Belanda, dan Pribumi. Berakhir sudah kekuasaan Perancis di Hindia
Timur. Mengapa keinginan Napoleon untuk mengirim 10.000 pasukan ke Jawa tak
pernah terlaksana? Bagaimana pula Nasib sang pecundang “Jenderal Sembako”
Janssens? Dapatkan jawabannya dalam novel berlatar sejarah kolonial ini, yang
berkisah tentang manusia manusia yang berjuang dengan hati terbelah. //yn