Dalam hal sepak bola dan kehidupan sendiri, kta sudah menemui banyak contoh yang mampu mengkorelasikan sepak bola, sebagai bagian kecil dari kehidupan, dengan dunia luar yang cakupan dan konteksnya jauh lebih luas. Sepak bola juga pernah digunakan sebagai alat diplomatsi dan perjuangan. Mengapa sepak bola? Mengapa bukan yang lain, seperti misi seni budaya, atau olahraga lain? Mengapa harus sepak bola?. Hal ini menunjukkan bahwa sepak bola, berkat kesederhanaannya, mampu dengan mudah menjadi penjembatan antara satu entitas dengan entitas lain. Sepak bola ini begitu fleksibel untuk masuk di relung-relung sempit kehidupan masyarakat luas. Dalam sepak bola, setiap tindakan atau kejadian, pasti memiliki dasar. Ada ide yang mendorongnya untuk terjadi. Bahkan di pertandingan internasional perdana antara Inggris dan Scotlandia tahun 1872 pun hal demikian sudah terjadi. Scotlandia yang merasa tak mampu bersaing secara fisik dengan para pemain Inggris memutuskan untuk memainkan bola dari kaki ke kaki alih-alih umpan-umpan panjang. Ini artinya, sepak bola selalu mengandung ide dan nilai. Hal inilah yang makin memungkinkan ilmu sosial untuk menjadi pisau analisis dalam membedah persoalan-persoalan di sepak bola. Cara yang digunakan Penulis untuk membedah sepak bola ini memang belum begitu lazim di gunakan di Indonesia mengingat di negara ini, sepak bola masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang/tidak penting. Sepak bola hanya dianggap sebagai hiburan kelas bawah yang tak akan membawa manfaat apapun selain sebagai opium of masses. Di negara-negara maju sepak bola justru dianggap penting dan sudah mampu menembus perguruan tinggi. Nama-nama professor seperti John Foot dari University College London, Ramon Spaaij dari University of Amsterdam, Stefan Szymanski dari University of Michigan, dan Laurent Dubois dari Duke University adalah beberapa contoh akademisi yang membawa sepak bola ke taraf yang lebih tinggi. Mereka menjadikan sepak bola itu sebagai fenomena sosial yang layak untuk dibahas secara ilmiah.//yn