Sampai
sekarang, Mangalua, masih melembaga di tengah masyarakat Batak. Adat dan Agama,
baik Islam, Kristen (Katolik/Protestan) bahkan juga agama leluhur Batak
PARMALIM, masih melaksanakannya. Bedanya, dahulu Mangalua, terjadi karena
beberapa faktor. Pertama, karena mahar (Sinamot) yang tak sanggup dibayar oleh
pihak lelaki. Kedua karena tidak adanya persesuaian, sebab antar kampung masih
terjadi perseteruan. Jogal, anak
Mangaraja Parhujinjang, justru ingin menghapus perseteruan itu. Agar kedua Huta
(kampung) bisa berdamai, dia mangaluahon sang Putri Si Boru Anting na
Rumondang, anak Raja Huta Bariba. Mangalua, biasanya memakan proses lama.
Terlebih Belanda tak menginginkan ada Huta yang memiliki kekuatan. Perseteruan
antarhuta selalu terjadi, tak lepas dari peran Belanda membesarkan perseteruan
itu. Misi perkawinan, selain cinta, juga memiliki unsur politik untuk
menyatukan kekuatan, tak terpenuhi. Belanda kemudian mengangkat Raja Huta
Bariba menjadi Nagari. Putrinya diambil kembali. Perang antar kampung tak
terelakkan. Jogal tak
pernah mau berunding dengan Belanda. Bagi masyarakat mereka, Belanda dikenal
licik. Sisingamangaraja XII, juga tak mau berunding. Itulah alasannya mengapa
Jogal tak mau berunding dengan Belanda. Licik harus dilawan dengan licik. Siap
berperang adalah tekad. Walau akhirnya takluk juga di tangan Belanda yang
memiliki kekuatan dengan tentara terlatih dan kelicikannya. Ketika Jogal
bebas dari tahanan (masuknya Jepang) dia pulang kampung. Orang di kampungnya
sudah banyak memeluk agama Kristen dan meninggalkan agama leluhur. Jogal
seorang mangaraja, meninggal dengan mengenaskan, tanpa penguburan adat yang
besar dan megah, layaknya seorang mangaraja. //ir