Daftar panjang kasus kekerasan atas nama agama semakin hari semakin bertambah, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Peristiwa intoleransi agama pun seolah tidak pernah berhenti dengan jatuhnya korban jiwa umat beragama. Fasilitas kehidupan beragama, seperti rumah ibadah, tidak luput dari sasaran kemarahan atas nama agama. Lebih ironi lagi, peristiwa tersebut justru terjadi pada masyarakat yang sebelumnya dikenal rukun, santun, toleran, dan nyaris tidak ada masalah. Diduga kuat, peristiwa-peristiwa kekerasan berakar pada semakin meningkatnya sikap intoleransi umat beragama karena kehidupan beragama bersentuhan dengan variabel lain di luar agama, seperti masalah politik, ekonomi dan masalah sosial lainnya. Kebekuan komunikasi menjadi titik awal persoalan pecahnya ketegangan komunikasi sehingga berimplikasi pada semakin menegangnya relasi antarkomunitas. Usaha mendekatkan jarak antarumat beragama pun nyaris tidak pernah menemukan hasil. Dari hasil penelaahan sederhana, umumnya konflik bersumber dari kesenjangan komunikasi antarindividu ataupun komunitas, miskin pertemuan sosial yang lebih egaliter, dan kalaupun ada, cenderung formalistis dengan hanya mengedepankan kepentingan politik pragmatis. Buku ini dirancang sebagai upaya rekayasa sosial mempertemukan kesenjangan yang kerap terjadi dengan mengedepankan pendekatan yang lebih komunikatif dengan mengacu pada pendekatan komunikasi multikultural untuk mencari solusi pencairan ketegangan yang kerap terjadi secara tiba-tiba. Buku ini membahas bagaimana usaha menemukan solusi menciptakan kehidupan harmoni di tengah masyarakat multikultur, seperti halnya di Indonesia, juga formula penguatan kompetensi komunikasi lintas agama sebagai salah satu alternatif menemukan solusi harmonisasi hubungan antar pemeluk agama yang berbeda.//yn