Dahulu Jemparingan digunakan sebagai alat untuk mengusir penjajah. Dilakukan dengan duduk bersila memegang busur, mengarahkan anak panah pada sasaran, membidik, menarik tali busur dan melepaskannya. Saat ini, terdapat paguyuban di Yogyakarta yang masih mempertahankan tradisi Jemparingan, salah satunya Paguyuban Laskar Hantu Maut Pujokusuman, yang diketuai oleh Wahyu Yuli. Pemahaman dan pemanfaatan budaya Jemparingan terus berkembang, berbeda dengan Panahan Modern yang mudah dimainkan dan hanya mengandalkan fisik, Jemparingan harus menggunakan alat dan pakaian adat khusus dan menjadi bagian dari olah rasa yang membutuhkan ketenangan batin, sehingga mudah untuk berkonsentrasi. Sebagai olahraga tradisional, salah satu pelestarian Jemparingan tidak hanya dituangkan ke dalam Gladen, namun berkembang menjadi ekstrakulikuler sekolah di Yogyakarta. Penulis menempatkan diri sebagai penulis naskah. Teori yang dipakai yaitu milik Irsan dan Kusmayadi dengan Alur Maju (Progresif) Dalam Naskah Dokumenter Televisi “Pusaka” Edisi “Bentang Busur Kesatria Jemparingan”. Penggunaan alur maju dengan tujuan memberikan cerita yang mengalir dari awal pengenalan hingga munculnya sebuah permasalahan dan bagaimana penyelesaiannya. Metode yang digunakan untuk membuat karya produksi adalah observasi, riset dan wawancara. Film dokumenter ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada penonton dengan bahasa yang mudah dipahami dengan alur cerita yang runtut. Didukung dengan pemilihan gambar yang sesuai dengan narasi. Dari karya produksi dokumenter ini terciptalah sebuah karya yang memotivasi, mengedukasi, sekaligus sebagai hiburan bagi khalayak.//yn