Detail Buku
Banteng Terakhir Kesultanan Yogyakarta : Riwayat Raden Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun, sekitar 1779-1810
- ISBN
- 978-602-481-883-8
- Pengarang
- Akhlis Syamsal Qomar
- Subyek
- KESULTANAN DI TANAH JAWA
- Penerbit
- Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2022
- Klasifikasi
- 959.82
- Kolasi
- xxxiii+305 hlm.; 21x30 cm.; illus.
- Jenis
- Umum
- Status
- Tersedia
Aturan baru kolonialisme yang ditekankan oleh
Herman Willem Daendels kepada keraton Jawa tengah-selatan pada 1808-1810
menyulut kegelisahan di jantung ibu kota Kesultanan Yogyakarta. Di mancanegara
timur kesultanan, Raden Ronggo Prawirodirjo III (1779-1810) menentang praktik
kolonialisme dan imperialisme Belanda itu pada 20 November-17 Desember 1810.
Raden Ronggo menjadi tokoh penting yang memainkan peran besar sebelum runtuhnya
masa tatanan lama setelah Perang Jawa (1825-1830) dan secara tidak langsung
mengantar kelahiran tatanan baru di Jawa. Memang, perlawanannya gagal dan dia
dianggap sebagai pembelot, sehingga jasadnya dikebumikan di kompleks makam
pemberontak di Banyusumurup, Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menyebut “setelah
lenyapnya Raden Ronggo, sebetulnya Kerajaan Yogyakarta sudah tak punya lagi
seorang pelaga”. Pasca-kemerdekaan, Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan Raden
Ronggo sebagai “pejuang perintis melawan Belanda” dan memindahkan jasadnya ke
Astana Giripurno di Magetan pada 1957. Buku ini berisi riwayat Raden Ronggo
Prawirodirjo III, Bupati Madiun sekaligus Bupati Wedana Mancanegara Timur di
bawah Kesultanan Yogyakarta (1796-1810), yang mengobarkan perlawanan terhadap
pemerintahan kolonial Belanda. Dalam babad autobiografinya yang ditulis dalam
pengasingan di Manado pada 1831-1832, Pangeran Diponegoro menganggap Raden
Ronggo Prawirodirjo III sebagai suri teladan bagi perjuangannya selama Perang
Jawa. //ir